Senin, 31 Maret 2014
Indonesia dan Risiko Tinggi Ekonomi 2014
Empat risiko: likuditas global, harga minyak, pangan, dan politik.
VIVAnews - Pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal
melambat pada 2014, demikian laporan triwulan ekonomi Indonesia terbaru
dari Bank Dunia. Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan kebijakan makro
tambahan untuk mengatasi berbagai risiko ekonomi tinggi akibat
perubahan arah investasi tahun ini.
Mengutip laman web Bank Dunia, Kamis 2 Januari 2014, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves, dalam siaran persnya menjelaskan pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah guna memperkuat stabilitas makro jangka pendek. Terutama penyesuaian kebijakan moneter dan nilai tukar rupiah. Namun untuk meningkatkan perdagangan dan merangsang laju pertumbuhan jangka panjang diperlukan reformasi struktural yang lebih luas.
Menurut Chavez, Indonesia telah melewati tahun penuh tantangan dengan jatuhnya permintaan ekspor dan harga komoditas, selain juga pasar modal yang bergejolak dan sulitnya memperoleh dana eksternal. "Kebijakan moneter telah mendukung penyesuaian ekonomi," ujar Chavez.
Namun, Chavez menilai Indonesia masih perlu menarik lebih banyak investasi jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan lebih fokus dan membuat kebijakan moneter yang tidak mengganggu arus investasi jangka panjang yang potensial.
"Indonesia akan menerima manfaat bila pemerintah berfokus pada investasi yang bersifat jangka panjang," kata Chavez.
Bank Dunia memprediksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun dari level 5,6 persen di 2013 menjadi 5,3 persen di 2014. Pelemahan ini ditengarai karena Indonesia akan mengalami penurunan investasi, di mana diprediksi hanya tumbuh 4,5 persen di kuartal ketiga, terutama untuk alat berat dan industri mesin.
Proyeksi Bank Dunia masih diwarnai sejumlah risiko tinggi. Rencana penghapusan stimulus Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat diperkirakan akan membuat kondisi pasar modal dunia terus bergejolak dan menghambat akses Indonesia terhadap dana eksternal.Pertumbuhan konsumsi domestik, yang selama ini cukup tangguh, juga diperkirakan bakal melemah. Proyeksi keuangan juga terlihat rentan akibat belanja subsidi BBM.
Defisit neraca akun berjalan diperkirakan akan menyusut dari US$31 milyar (3,5 persen PDB) di 2013 menjadi US$23 milyar di 2014 (2,6 persen PDB). Penyusutan itu akibat lemahnya pertumbuhan impor, dan permintaan ekspor hanya naik secara moderat.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop, menyatakan Indonesia tidak perlu menekan impor untuk menyikapi defisit neraca akun berjalan. Tetapi Indonesia perlu menaikkan ekspor dan mengamankan ketersediaan dana eksternal, terutama investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).
"Langkah-langkah perbaikan terhadap iklim usaha sangat penting untuk menarik investasi. Membuat peraturan perdagangan dan logistik lebih sederhana juga dapat membantu mendongkrak ekspor," kata Diop.
Antisipasi perubahan likuiditas globalPemerintah tampaknya sudah menyadari risiko tinggi situasi ekonomi 2014 yang bakal dihadapi serta mengarah pada pelambatan pertumbuhan.
Wakil Presiden RI, Boediono, Kamis 2 Januari 2014, menyatakan indikator perekonomian Indonesia masih menunjukkan kondisi yang baik, meski ada perubahan arah likuiditas global saat ini akibat rencana pembatasan dana stimulus The Fed.
"Saat ini kondisi fiskal dan moneter kita bagus, sehingga proses penyesuaian dari easy money kepada kondisi normal ini diperkirakan dapat berlangsung baik," ujar Boediono dalam sambutan pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis 2 Januari 2014.
Langkah The Fed untuk memperketat dana stimulus yang nilainya mencapai US$85 miliar untuk pembelian obligasi tiap bulan itu dinilai bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Menurut Boediono, pengetatan likuiditas global saat ini sangat berbeda dengan situasi 1997/1998 dan juga 2008.
"Tappering off saat ini terjadi bukan karena dipicu oleh bangkrutnya sektor keuangan, tetapi karena recovery. Terutama negara maju seperti Amerika Serikat," kata Boediono.
Dengan begitu, Indonesia memiliki waktu untuk merespons. Tidak seperti kondisi 1997/1998 dan 2008 di mana ledakan krisis terjadi secara tiba-tiba. "Ini akan terjadi lebih terjadwal, sehingga kita bisa respons. Kalau 2008 itu seperti ledakan, kita seharusnya tidak terlalu khawatir," kata Boediono.
Beberapa variabel makro yang mendasar, menurut Boediono, dalam proses penyesuaian untuk menghadapi likuditas global. Antara lain seperti tingkat suku bunga telah mendekati posisi hampir pas. "Ini menunjukkan ekonomi Indonesia siap menghadapi perubahan postur likuiditas ini," kata Boediono.
Likuiditas global adalah satu dari empat faktor risiko yang menjadi pengamatan Wapres dalam menghadapi tahun 2014. Tiga lainnya adalah harga minyak dunia, harga bahan makanan, dan politik dalam negeri.
Gejolak harga minyakMenurut Boiediono, saat ini kondisi minyak telah mendekati posisi keseimbangan jangka panjang, terutama sejak adanya revolusi shale gas and oil yang menjadikan lebih banyak suplai.
"Kondisi ini tidak menghapus gangguan suplai pada jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang. Mestinya kita melihat harganya sudah sesuai dengan suplai yang diperkirakan akan terjadi pada jangka panjang," kata Boediono.
Ekonom dari Bank Mandiri, Destry Damayanti, menilai risiko gejolak harga minyak di pasar internasional menjadi ancaman terbesar yang harus diwaspadai.
Menurut Destry, depresiasi rupiah berpotensi membengkakkan anggaran subsidi BBM yang dialokasikan tahun ini. Hal itu akan menggangu ketahanan fiskal. Karena itu, pemerintah harus lebih tegas untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi apabila terjadi kenaikan harga minyak global.
"Kalau konsumsinya tidak bisa dikendalikan dampaknya impor minyak akan tinggi, curent account deficit tidak akan bisa ditekan dengan baik, anggaran akan meledak untuk subsidi minyak," kata Destry kepada VIVAnews.
Namun, Boediono menyatakan harga dan volume bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri juga sudah diatur agar sesuai target. Menurut dia, jika memang dibutuhkan, pemerintah tidak ragu mengambil langkah pengendalian konsumsi BBM yang lebih pakem.
"Ini semua dengan penyesuaian harga, maka sisi fiskal, neraca perdagangan, neraca berjalan bisa kita batasi untuk tidak melonjak," kata Boediono.
Tingkat inflasi
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, dalam kesempatan terpisah menyatakan pemerintah memang mesti mewaspadai kenaikan harga pangan.
Menurutnya, ketergantungan impor masih tinggi terhadap komoditas pangan yang harganya bergejolak, sangat beresiko bagi perekonomian Indonesia. Apalagi di tengah kondisi pelemahan nilai tukar rupiah.
"Kita belum punya program soal impor ini ketika rupiah makin terpuruk kan. Karena makin melemahnya rupiah akan makin mahal harga barangnya. Itu kan juga masalah," kata Aviliani saat dihubungi VIVAnews.
Boediono menegaskan, pemerintah juga berkepentingan dalam pengendalian harga bahan makanan. Karena inflasi di Indonesia terutama ditentukan bukan pada sisi moneter, tetapi pada sisi suplai barang kebutuhan pokok dan bahan makanan. "Sangat penting mengendalikan inflasi di dalam negeri, harga kebutuhan pokok harus dikawal dengan baik," kata Boediono.
Pada tahun 2014 ini diperkirakan produksi beberapa komoditas pertanian akan baik, sehingga suplai akan cukup. Kondisi seperti ini akan dapat mengendalikan inflasi. "Maka harga di dalam negeri bisa menurun," kata Boediono.
Politik pemerintahan baruTahun 2014 juga merupakan tahun politik. Karena tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Boediono berharap pemilu 2014 berjalan lancar, tertib, aman dan damai untuk menghasilkan suatu pemerintahan baru yang disepakati bersama.
"Kita semua sadar dan berkomiten utuk membuat 2014 menjadi tahun yang penuh kedamaian dan kemajuan di bidang pelaksanaan demokrasi," kata Boediono.
Apabila pesta demokrasi itu dapat berjalan lancar, maka menjelang semester II-2014 akan terbentuk modal politik untuk pemerintahan baru. "Semua orang akan memberikan ruang kepada pemerintahan baru untuk bekerja, bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya," kata Boediono.
Mengutip laman web Bank Dunia, Kamis 2 Januari 2014, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves, dalam siaran persnya menjelaskan pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah guna memperkuat stabilitas makro jangka pendek. Terutama penyesuaian kebijakan moneter dan nilai tukar rupiah. Namun untuk meningkatkan perdagangan dan merangsang laju pertumbuhan jangka panjang diperlukan reformasi struktural yang lebih luas.
Menurut Chavez, Indonesia telah melewati tahun penuh tantangan dengan jatuhnya permintaan ekspor dan harga komoditas, selain juga pasar modal yang bergejolak dan sulitnya memperoleh dana eksternal. "Kebijakan moneter telah mendukung penyesuaian ekonomi," ujar Chavez.
Namun, Chavez menilai Indonesia masih perlu menarik lebih banyak investasi jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan lebih fokus dan membuat kebijakan moneter yang tidak mengganggu arus investasi jangka panjang yang potensial.
"Indonesia akan menerima manfaat bila pemerintah berfokus pada investasi yang bersifat jangka panjang," kata Chavez.
Bank Dunia memprediksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun dari level 5,6 persen di 2013 menjadi 5,3 persen di 2014. Pelemahan ini ditengarai karena Indonesia akan mengalami penurunan investasi, di mana diprediksi hanya tumbuh 4,5 persen di kuartal ketiga, terutama untuk alat berat dan industri mesin.
Proyeksi Bank Dunia masih diwarnai sejumlah risiko tinggi. Rencana penghapusan stimulus Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat diperkirakan akan membuat kondisi pasar modal dunia terus bergejolak dan menghambat akses Indonesia terhadap dana eksternal.Pertumbuhan konsumsi domestik, yang selama ini cukup tangguh, juga diperkirakan bakal melemah. Proyeksi keuangan juga terlihat rentan akibat belanja subsidi BBM.
Defisit neraca akun berjalan diperkirakan akan menyusut dari US$31 milyar (3,5 persen PDB) di 2013 menjadi US$23 milyar di 2014 (2,6 persen PDB). Penyusutan itu akibat lemahnya pertumbuhan impor, dan permintaan ekspor hanya naik secara moderat.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop, menyatakan Indonesia tidak perlu menekan impor untuk menyikapi defisit neraca akun berjalan. Tetapi Indonesia perlu menaikkan ekspor dan mengamankan ketersediaan dana eksternal, terutama investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).
"Langkah-langkah perbaikan terhadap iklim usaha sangat penting untuk menarik investasi. Membuat peraturan perdagangan dan logistik lebih sederhana juga dapat membantu mendongkrak ekspor," kata Diop.
Antisipasi perubahan likuiditas globalPemerintah tampaknya sudah menyadari risiko tinggi situasi ekonomi 2014 yang bakal dihadapi serta mengarah pada pelambatan pertumbuhan.
Wakil Presiden RI, Boediono, Kamis 2 Januari 2014, menyatakan indikator perekonomian Indonesia masih menunjukkan kondisi yang baik, meski ada perubahan arah likuiditas global saat ini akibat rencana pembatasan dana stimulus The Fed.
"Saat ini kondisi fiskal dan moneter kita bagus, sehingga proses penyesuaian dari easy money kepada kondisi normal ini diperkirakan dapat berlangsung baik," ujar Boediono dalam sambutan pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis 2 Januari 2014.
Langkah The Fed untuk memperketat dana stimulus yang nilainya mencapai US$85 miliar untuk pembelian obligasi tiap bulan itu dinilai bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Menurut Boediono, pengetatan likuiditas global saat ini sangat berbeda dengan situasi 1997/1998 dan juga 2008.
"Tappering off saat ini terjadi bukan karena dipicu oleh bangkrutnya sektor keuangan, tetapi karena recovery. Terutama negara maju seperti Amerika Serikat," kata Boediono.
Dengan begitu, Indonesia memiliki waktu untuk merespons. Tidak seperti kondisi 1997/1998 dan 2008 di mana ledakan krisis terjadi secara tiba-tiba. "Ini akan terjadi lebih terjadwal, sehingga kita bisa respons. Kalau 2008 itu seperti ledakan, kita seharusnya tidak terlalu khawatir," kata Boediono.
Beberapa variabel makro yang mendasar, menurut Boediono, dalam proses penyesuaian untuk menghadapi likuditas global. Antara lain seperti tingkat suku bunga telah mendekati posisi hampir pas. "Ini menunjukkan ekonomi Indonesia siap menghadapi perubahan postur likuiditas ini," kata Boediono.
Likuiditas global adalah satu dari empat faktor risiko yang menjadi pengamatan Wapres dalam menghadapi tahun 2014. Tiga lainnya adalah harga minyak dunia, harga bahan makanan, dan politik dalam negeri.
Gejolak harga minyakMenurut Boiediono, saat ini kondisi minyak telah mendekati posisi keseimbangan jangka panjang, terutama sejak adanya revolusi shale gas and oil yang menjadikan lebih banyak suplai.
"Kondisi ini tidak menghapus gangguan suplai pada jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang. Mestinya kita melihat harganya sudah sesuai dengan suplai yang diperkirakan akan terjadi pada jangka panjang," kata Boediono.
Ekonom dari Bank Mandiri, Destry Damayanti, menilai risiko gejolak harga minyak di pasar internasional menjadi ancaman terbesar yang harus diwaspadai.
Menurut Destry, depresiasi rupiah berpotensi membengkakkan anggaran subsidi BBM yang dialokasikan tahun ini. Hal itu akan menggangu ketahanan fiskal. Karena itu, pemerintah harus lebih tegas untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi apabila terjadi kenaikan harga minyak global.
"Kalau konsumsinya tidak bisa dikendalikan dampaknya impor minyak akan tinggi, curent account deficit tidak akan bisa ditekan dengan baik, anggaran akan meledak untuk subsidi minyak," kata Destry kepada VIVAnews.
Namun, Boediono menyatakan harga dan volume bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri juga sudah diatur agar sesuai target. Menurut dia, jika memang dibutuhkan, pemerintah tidak ragu mengambil langkah pengendalian konsumsi BBM yang lebih pakem.
"Ini semua dengan penyesuaian harga, maka sisi fiskal, neraca perdagangan, neraca berjalan bisa kita batasi untuk tidak melonjak," kata Boediono.
Tingkat inflasi
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, dalam kesempatan terpisah menyatakan pemerintah memang mesti mewaspadai kenaikan harga pangan.
Menurutnya, ketergantungan impor masih tinggi terhadap komoditas pangan yang harganya bergejolak, sangat beresiko bagi perekonomian Indonesia. Apalagi di tengah kondisi pelemahan nilai tukar rupiah.
"Kita belum punya program soal impor ini ketika rupiah makin terpuruk kan. Karena makin melemahnya rupiah akan makin mahal harga barangnya. Itu kan juga masalah," kata Aviliani saat dihubungi VIVAnews.
Boediono menegaskan, pemerintah juga berkepentingan dalam pengendalian harga bahan makanan. Karena inflasi di Indonesia terutama ditentukan bukan pada sisi moneter, tetapi pada sisi suplai barang kebutuhan pokok dan bahan makanan. "Sangat penting mengendalikan inflasi di dalam negeri, harga kebutuhan pokok harus dikawal dengan baik," kata Boediono.
Pada tahun 2014 ini diperkirakan produksi beberapa komoditas pertanian akan baik, sehingga suplai akan cukup. Kondisi seperti ini akan dapat mengendalikan inflasi. "Maka harga di dalam negeri bisa menurun," kata Boediono.
Politik pemerintahan baruTahun 2014 juga merupakan tahun politik. Karena tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Boediono berharap pemilu 2014 berjalan lancar, tertib, aman dan damai untuk menghasilkan suatu pemerintahan baru yang disepakati bersama.
"Kita semua sadar dan berkomiten utuk membuat 2014 menjadi tahun yang penuh kedamaian dan kemajuan di bidang pelaksanaan demokrasi," kata Boediono.
Apabila pesta demokrasi itu dapat berjalan lancar, maka menjelang semester II-2014 akan terbentuk modal politik untuk pemerintahan baru. "Semua orang akan memberikan ruang kepada pemerintahan baru untuk bekerja, bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya," kata Boediono.
© VIVA.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar